Tugu NKRI di Pulau Miangas. Kab Talaud, Sulawesi Utara. Tugu yang dibangun tahun 2008 sebagai simbol kekokohan NKRI di pulau yang berbatasan Indonesia- Filipina. ANTARA/Basrul Haq |
Di bawah hujan lebat, tepat pukul 17.00 waktu setempat, KM Ratu Maria tujuan Melonguane yang saya tumpangi perlahan bergerak meninggalkan pelabuhan Manado. Hari itu Rabu, awal Mei 2010. Pasar ikan, gereja, mercusuar, tiang jembatan, pertokoan, dan rumah-rumah mulai pudar di kejauhan, tertutup tirai hujan. Dari ruang nakhoda, seorang pendeta memimpin doa bagi keselamatan pelayaran.
Jika tak ada aral melintang, kapal bertarif Rp 165 ribu ini akan tiba di gugusan Kepulauan Talaud esok hari. Saya bayangkan, semalaman bakal melelahkan, tapi wajah riang para penumpang memupus anggapan itu. Lagi pula, saya mendapat kamar yang nyaman di lantai atas, milik anak buah kapal dengan tambahan sewa Rp 150 ribu. Bersih, penuh simbol Kristiani. Saya beralih membayangkan suasana lain yang bakal saya reguk di sepanjang pelayaran.
Benar saja, belum jauh ke tengah, gerombolan ikan tuna muncul berkejaran di sisi kapal. Tak lama, kapal melewati dua ikon pariwisata Sulawesi Utara: Gunung Manado Tua dan Pulau Bunaken. Manado Tua, yang tersembul dari laut, memiliki perkampungan tua, cikal-bakal orang Manado. Bunaken mendunia berkat taman bawah lautnya. Meski hanyanumpang lewat, cukup alasan untuk berdecak kagum.
Malam harinya, hujan reda dan langit terang penuh bintang. Bulan bulat menjelang purnama membuat permukaan laut berkilat mandi cahaya. Saya bertahan di dek kapal sampai larut malam. Setelah puas, saya berbaring di dipan bagian atas. Lewat pintu yang dibiarkan terbuka, saya bisa memandang laut lepas. Akhirnya saya tertidur dalam lelah.
Keesokan hari saya terbangun ketika sinar matahari jatuh menyentuh pipi saya. Suara merdu Dian Pisesa terdengar dari speaker kapal. Bersamaan dengan itu, dua petugas datang membagikan jatah sarapan pagi. Saya bergegas bangun, dan pergi mencuci muka ke kamar mandi. Pukul 08.00 Wita, lewat pengeras suara, petugas mengumumkan kapal akan merapat di Lirung. Ia meminta penumpang bersiap, dan bapak pendeta memimpin doa.
Kapal menyorongkan lambungnya yang sarat ke dermaga. Sejumlah speedboat berkejaran menyongsong. Pengemudinya berteriak menawarkan jasa. Rupanya, waktu sandar dimanfaatkan sebagian penumpang tujuan Melonguane untuk melanjutkan perjalanan dengan speedboat. Waktu tempuhnya hanya 25 menit, tarifnya Rp 20 ribu per orang. Kalau ikut kapal, waktu tempuh satu jam.
Saya memilih sabar menunggu. Perlu lebih dari satu jam untuk menurunkan penumpang dan barang. Saya terhibur oleh keindahan dua pulau kecil di depan pelabuhan. Pantainya putih dan dirimbuni pohon kelapa. Dari Pak Alex, seorang penumpang, saya tahu nama pulau itu: Sarak Besar dan Sarak Kecil. Tapi Sarak Kecil, katanya, sudah dikuasai seorang pengusaha. Saya mulai merasa jemu ketika tong-tong sampah menganga ke laut, menghamburkan sampah plastik dari atas kapal.
Beruntung, Pak Alex beralih cerita. Lirung, katanya, merupakan pelabuhan pertama disinggahi pagi hari. Lirung terletak di Pulau Salibabu. Setelah Lirung, pelabuhan berikutnya adalah Melonguane dan Beo, keduanya di Karakelang, pulau terbesar di gugusan Talaud. Hanya, kapal tak selalu ke Beo, lebih sering sampai Melonguane. Padahal Beo pelabuhan tertua.
Itu sebabnya, ketika Talaud jadi kabupaten sendiri,lepas dari Sangihe pada 2000, persoalan ibu kota cukup krusial. Lirung dan Beo bersaing ketat. Jalan tengah: ditetapkan Melonguane. Toh, kota ini sudah lebih dulu memiliki pelabuhan udara yang didarati dua hari sekali oleh pesawat kecil Merpati dan Wings Air. Selain itu, feri dari Bitung punya jadwal tetap ke tempat ini.
Kabupaten Talaud terdiri atas Pulau Salibabu, Karakelang, Sarak, Kabaruan, dan puluhan pulau kecil. Termasuk Kepulauan Nanusa, yang terdiri atas Karatung, Mangumpung, Kakarotan, Gerama, dan Miangas, pulau paling utara. Talaud terletak di gerbang Samudra Pasifik dan berbatasan langsung dengan Filipina. Tak mengherankan, orang Talaud banyak di Mindanao, terutama di Davao City. Begitupun sebaliknya. Mereka membarter barang: orang Filipina mengandalkan sandal, ayam, dan minuman kaleng, sedangkan orang kita mengandalkan rokok kretek dan pakaian.
Talaud berasal dari ungkapan tanah ujung laut. Tapi nama paling populernya adalah pemberian Gubernur VOC di Maluku, Padtbrugge. Pada 1677 ia singgah di Talaud dan menyebutnya "Noorder-einlanden", Nusa Utara. Belanda kemudian masuk dengan membangun banyak gereja yang artistik. Portugis pun ikut mengincar, tapi tersingkir ke Filipina, meninggalkan tata ruang kota khas Eropa, yakni jalan-jalan yang sejajar lurus. Portugis menyebut Talaud "Porodisa", artinya Tanah Sorga.
Pukul 09.30 Wita, kapal merapat di Melonguane. Pelabuhannya lebih kecil dibanding Lirung. Gudang dan rumah-rumah juga tak sepadat di Lirung. Yang membuat keduanya sama ialah menjulang tingginya tiang pancar telepon seluler. Seolah mengingatkan bahwa kota di lautan luas ini meretas isolasi.
Saya bersalaman dengan Pak Alex, yang badannya tinggi berdegap. "Nanti torang boleh ketemu lagi dang. Kalau ke Rainis, singgahlah, kitorang ada di Beo. Boleh begitu?" ia menepuk pundak saya. Besar kemungkinan kami kembali bertemu. Maklum, kami berada di satu pulau yang jalannya belum banyak simpang, kotanya masih lengang, dan penduduknya relatif sedikit. Tapi, ah, bisa saja Pak Alex menghabiskan waktu di ladang memetik kelapa, cengkeh, atau pala.
Saya dijemput Alfred Pontolondo, kawan lama waktu di Yogya. Berboncengan kami naik sepeda motor. Mata saya tak henti memperhatikan Melonguane, yang sedang tumbuh. Sebuah tugu berlambang bola dunia berdiri sejajar dengan dermaga, dekat perempatan yang sepi. Yang membuat jalanan di Melonguane hidup ialah keberadaan "taksi bentor", becak yang dimodifikasi dengan sepeda motor. Bentor menjadi alat transportasi andalan warga, jauh-dekat tarifnya Rp 3.000.
Alfred membawa saya ke rumahnya, tak jauh dari tugu. Rumah kayu sederhana itu terletak di gang berlumpur karena kerap diguyur hujan. Atapnya dari seng, membuat saya mandi keringat. "Rumah ini belum setahun kami beli," kata Alfred. Saya segera ke teras depan. Lumayan, angin bertiup segar. Istri dan mertua Alfred sebenarnya tinggal di Rainis, 60 kilometer arah utara dari Melonguane. Sekali seminggu mereka pulang. Seperti hari itu, ibu mertuanya--salah satu staf Kantor Lingkungan Hidup--baru berangkat ke Rainis, dan bapak mertuanya--pegawai Dinas Pendidikan Nasional--sedang mengontrol ujian akhir nasional.
Alfred mengajak saya makan siang. Ternyata ibu mertuanya sudah menyiapkan sejumlah menu yang bagi saya terasa spesial. Ikan bakar dan sayur nating sebenarnya menu rumahan di Talaud, tapi segera memancing saya untuk lahap. Sayur nating sejenis daun singkong, tapi lebih lembut dan membuat kuah gulai jadi kental. Apalagi santan gulai di sini sangat pekat. Maklum, daerah penghasil kelapa. Cocok dengan lidah Sumatera saya.
Yang paling menantang adalah rebusan talas, jenis umbian yang gampang ditemukan di Talaud. Ada dua jenis talas, warna putih dengan rasa gurih, asli Talaud. Sedangkan warna merah berserat lembut berasal dari Filipina. Dimakan pakai gulai ikan cakalang, wah, rasanya jadi tak mau beranjak dari meja makan!
Habis makan, kami berkeliling kota, melewati rumah-rumah berpagar rendah yang seragam. Anehnya, warna pagar itu hanya dua macam: merah dan biru. Menurut Alfred, itu pantulan "warna politik" mereka. Kami tiba di kompleks pemerintah daerah Talaud di atas bukit. Kantor bupati tampak paling besar, bertingkat dua. Di sampingnya berderet kantor dinas dengan bangunan relatif baru, tapi halamannya tak terurus. Bahkan rumput liar nyaris menutupi badan jalan di kawasan itu. Tak jauh dari kantor bupati, terdapat kompleks rumah ibadah beberapa agama, dinamakan "Bukit Cinta"--mengingatkan akan "Bukit Kasih" di Minahasa.
Ketika warna senja memantul merah di pucuk-pucuk cengkeh dan pala, kami mampir membeli ikan yang dijajakan para perempuan di dekat pelabuhan. Murah-meriah, meski kurang segar karena merupakan sisa siang sebelumnya. Saya pilih juga ikan tongkol cukup besar, hanya Rp 10 ribu. Ikan kembung dan bawal satu kresek kami bayar Rp 12 ribu. Lalu kami ke pasar membeli bumbu. Malamnya, kami puas pesta ikan bakar.
Hari berikutnya, hujan turun sejak pagi. Rencana ke Desa Musi terpaksa kami batalkan. Musi merupakan desa tua yang memiliki kepercayaan pada roh leluhur. Menjelang siang, hujan reda, kami langsung tancap ke Rainis. Moda transportasi di jalur ini adalah mobil pelat hitam, yang mematok tarif mahal, Rp 30 ribu per orang.
Kami memutuskan berkendaraan motor dengan santai di jalan aspal yang bagus. Saya pikir, meski jauh di perbatasan, jalan di Talaud lebih baik. Tapi, Alfred bilang, banyak juga jalan Talaud yang rusak. Kondisi jalan lingkar Karakelang hanya bagus di jalur Melonguane-Beo-Rainis-Esang, sedangkan pantai timur rusak parah.
Kami singgah di Gua Totambatu, Desa Tarohan. Gua ini terdapat di puncak batu karang tempat tengkorak dan tulang-belulang yang dipercaya sebagai nenek moyang orang Talaud berserakan. Ditilik dari pecahan piring dan keramik di situ, mereka berkebudayaan tinggi. Sayang, semua itu tak terawat. Padahal pantainya juga sangat indah dengan hutan bakau dan pohon kelapa. Di sini ditemukan burung langka endemik, tu'a. Jurnal ilmiahForkatil menamainya Gymnocrex talaudensis.
Saya menikmati Beo sebagai kota kecil berusia tua, yang menyiapkan dirinya sejak dulu dengan pelabuhan, gereja, sekolah, dan tata ruang kota yang baik. Sayang, sejarah seolah berhenti ketika Belanda pergi dan pemerintah tak cakap mengembangkannya. Malah tambang bijih besi hendak dibuka dan ditentang masyarakat karena dianggap merusak. Spanduk penolakan terpasang di jalan-jalan. Kini Beo tampak seperti berdandan dengan pakaian lama yang tersimpan di lemari tua.
Jalan ke Rainis mulai menanjak dan penuh tikungan. Maklum, jalan ini memotong bagian tengah Pulau Karakelang, menghubungkan Beo di pantai barat dengan Rainis di pantai timur. Perjalanan melewati pegunungan sejuk dalam lindungan pohon cengkeh yang rimbun di kiri-kanan jalan. Orang-orang dengan keranjang di punggung tampak pulang dari ladang, sebagian membawa tangga bambu pemetik cengkeh.
Selain hasil laut, Talaud sumber utama kelapa, pala, dan cengkeh, meski harganya tak pernah memuaskan. Hanya pada masa pemerintahan Gus Dur harga komoditas itu menembus harga pasar internasional. Tak mengherankan, nama Gus Dur seharum bunga cengkeh di Talaud. Selebihnya cerita sedih, misalnya tentang puluhan hektare kebun warga dijual murah kepada pengusaha dan tuan tanah.
Perasaan asing sejak tiba di Rainis pupus ketika Minggu pagi yang cerah saya berkeliling. Orang-orang berbaris ke gereja, menyapa ramah. Saya rasakan masyarakat Talaud sangat religius. Selain pemeluk Kristen, ada desa muslim, seperti Bawunian dan Resduk. Mereka transmigran dari Marore, Kawio, dan Kawaluso, Sangihe, yang memeluk Islam sejak masa Kasultanan Ternate dan Tidore. Mereka hidup damai.
Saya terus berjalan menyusuri Rainis, dan tahu betapa kota kecil ini sangat cantik! Ia bertingkat dua, bagian atas dengan cengkeh dan pala, bagian bawah pantai dan kelapa. Sebuah tangga batu menghubungkannya. Gereja tua, tangga batu, dan pelabuhan kecil seolah jadi landmark Rainis. Saya menghabiskan waktu empat hari di sini. Lebih sekadar memberi workshop sastra, saya merasa masuk dalam kehidupan orang Talaud yang hangat.
ari terakhir, bersama siswa dan guru, saya berkunjung ke Lobbo, pulau kecil di sebelah utara Beo. Kami menyeberang naik perahu, membawa banyak makanan. Saya dan Alfred berkeliling pulau. Meski tak lebih dari 2 kilometer persegi, ternyata tak mudah. Banyak karang tajam dan belukar. Tapi rimba bakau, pasir putih, dan suara burung imbalannya. Setelah susah-payah mencapai tempat berkumpul, kami merayakan semacam perpisahan. Berdiri mengitari tikar penuh makanan, seseorang di antara kami memimpin doa. Lalu kami makan bersama. Terus semua berendam di laut yang tenang, menyaksikan ikan tuna memburu ikan-ikan kecil. Di atas kami, lengkung pelangi menyemburat dari laut ke langit. Besoknya, dari bandara kecil Melonguane, dengan pesawat kecil, saya meninggalkan Porodisa dengan kecamuk perasaan yang sengit.
No comments:
Post a Comment